Friday, October 3, 2014

SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)


1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian. 
[HR Muslim].


2.Tata cara shalat jenazah.
a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ
Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni
[HR At Tirmidzi]

b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta'awwudz, tidak membaca do'a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do'a untuk mayit. Sebaik-baik do'a adalah sebagai berikut:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا
Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita kami. 
[HR At Tirmidzi]

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:

اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya.
[HR Abu Dawud].

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka
[HR Muslim dari 'Auf bin Malik]

Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….

(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ....)

c. Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali salam.
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: "Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam." [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/424)]

Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas'ud.
ثَلاَثُ خِلاَلٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي الصَّلاَةِ

(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah n , namun kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi).
 Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.

Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam  dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali.
 (HR Ad Daraquthni dan Al Hakim). 
Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul 'Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.

d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir.
Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau  mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu', karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.
Ibnu Hajar berkata: "Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah." [Diriwayatkan oleh Sa'id, di dalam At Talkhishul Habir (2/147)].

3.Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak, ketika matahari sepenggalah hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke barat hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di dalam hadits 'Uqbah bin 'Amir.

4. Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama'ah. Dan tidak mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah radhiyallahu 'anha menyalatkan jenazah Sa'ad bin Abi Waqqash.

5. Apabila terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka boleh dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil, diletakkan paling dekat dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah yang paling dekat dengan imam.

6.Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin. Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
Tidaklah seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo'akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa'at untuknya. 
[HR Muslim].

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh empatpuluh orang yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan memberikan syafa'at kepada mereka untuknya. 
[HR Muslim].

7. Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai dengan sifatnya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Apabila dia salam dan tidak mengqadha', tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,'Tidak mengqadha'. Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri'." [Lihat Al Mughni (2/511)].

8. Apabila tertinggal dari shalat jenazah secara berjama'ah, maka dia shalat sendirian selama belum dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma'ad (1/512)].

Jadi diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati, orang yang menyalatkan sudah menjadi orang yang sah shalatnya.

9. Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui berita kematiannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a'lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah." [Lihat Zaadul Ma'ad (1/520)].

10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkannya.

11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati bunuh diri.
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian. 
[HR Abu Dawud].

Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang mati karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu , berkata:
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Seseorang yang membunuh dirinya dengan anak panah didatangkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau tidak mau menyalatkannya
[HR Muslim].

Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai imam (pemimpin), maka Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi pelajaran bagi orang yang semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum muslimin wajib untuk menyalatkannya.

12. Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga dishalatkan.

13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha , beliau berkata:
وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ
Demi, Allah! Tidaklah Nabi  Shallallahu 'alaihi wa sallam  menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha' dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid. 
[HR Muslim].

Akan tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus yang disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106), Asy Syarhul Mumti' (5/444)].

G. MENGIRINGI JENAZAH


1. Hukum mengiringi jenazah adalah fardhu kifayah, karena termasuk hak seorang muslim.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ (وَفِي رِوَايَةٍ: يَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيْهِ) خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ (رواه البخاري ومسلم)
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, (yaitu): menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangannya dan mendo'akan orang yang bersin. 
[HR Bukhari dan Muslim].

2. Keutamaan mengiringi jenazah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
(رواه مسلم)
Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia memperoleh satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath,”.kemudian Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab,”Seperti dua gunung yang besar.
 [HR Muslim].

3. Disunnahkan untuk bersegera ketika berjalan mengangkat jenazah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : Saya mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَرَّبْتُمُوهَا إِلَى الْخَيْرِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَلِكَ كَانَ شَرًّا تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ
 (رواه مسلم)
Bersegaralah kalian ketika membawa jenazah. Apabila dia orang shalih, maka kalian akan segera mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila bukan orang shalih, maka kalian segera meletakkan kejelekan dari punggung-punggung kalian
[HR Muslim].

Al Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar ketika mengangkat mayit adalah berjalan sedang-sedang saja (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, Red.). Hadits-hadits yang menjelaskan akan bersegera, maksudnya tidak terlalu cepat ketika berjalan. Dan hadits-hadits yang menjelaskan untuk sederhana dalam berjalan, maksudnya bukan berjalan sangat lambat. Maka (makna) hadits-hadits tersebut digabungkan dengan mengambil tengah-tengah, antara ifrath dan tafrith. [Lihat At Ta'liqat Ar Radhiyyah, Syaikh Al Albani, hlm. 1/ 454].

4. Dianjurkan untuk mengangkat jenazah dari seluruh sudut keranda dengan sifat tarbi', yakni mengangkat dari empat sudut keranda, berdasarkan perkataan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu,
مَنْ اتَّبَعَ جِنَازَةً فَلْيَحْمِلْ بِجَوَانِبِ السَّرِيرِ كُلِّهَا فَإِنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ ثُمَّ إِنْ شَاءَ فَلْيَتَطَوَّعْ وَإِنْ شَاءَ فَلْيَدَعْ
 (رواه ابن ماجه)
Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat dari seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia mau, maka hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau, hendaknya dia tinggalkan
[HR Ibnu Majah].

Sementara itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Menurutku, yang rajih dalam masalah ini adalah adanya keluasan dalam mengangkat jenazah. Maka hendaknya dikerjakan mana yang lebih mudah dan tidak memberatkan dirinya. Terkadang sifat tarbi' sulit untuk dikerjakan ketika banyak sekali orang yang mengiringi jenazah. Jadi akan menyulitkan orang yang mengangkat dan orang yang lain." [Lihat Asy Syarhul Mumti', hlm. 447]

5. Mengiringi dan mengangkat jenazah adalah khusus bagi kaum lelaki. Tidak boleh bagi wanita untuk mengiringi jenazah, karena hadits Ummu Athiyah menyatakan:
نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
 (رواه البخاري)
Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi tidak ditekankan kepada kami. 
[HR Bukhari].

6. Diperbolehkan berjalan di belakang jenazah atau di depannya.
Keduanya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang afdhal berjalan di belakangnya, sebagaimana mafhum dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
عُوْدُوْا الْمَرِيْضَ وَاتَّبِعُوْا الْجَنَائِزَ 
(أخرجه الهيثمي)
Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah jenazah
[Dikeluarkan oleh Al Haitsami].

Dan hal ini dikuatkan oleh perkataan Ali Radhiyallahu 'anhu :

الْمَشْيُ خَلْفَهَا أَفْضَلُ مِنْ الْمَشْيِ أَمَامَهَا كَفَضْلِ صَلاَةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ فَذًّا
(أخرجه ابن أبي شيبة)
Berjalan di belakang jenazah lebih afdhal daripada berjalan di belakangnya seperti keutamaan seorang lelaki shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat sendirian
[Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah].

Sedangkan orang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
الرَّاكِبُ يَسِيرُ خَلْفَ الْجَنَازَةِ 
(رواه أبو داود)
Seorang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. 
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Yang lebih utama adalah berjalan daripada naik kendaraan. Sebagaimana yang diriwayatkan Tsauban Radhiyallahu 'anhu, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengiringi jenazah, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi kendaraan, namun Beliau tidak mau mengendarainya. Ketika pulang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditawari kendaraan lagi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima dan mengendarainya. Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, Beliau menjawab:

إِنَّ الْمَلَائِكَةَ كَانَتْ تَمْشِي فَلَمْ أَكُنْ لِأَرْكَبَ وَهُمْ يَمْشُونَ فَلَمَّا ذَهَبُوا رَكِبْتُ 
(رواه أبو داود)

Sesungguhnya malaikat berjalan, maka aku tidak mau mengendarai sedangkan malaikat berjalan. Kemudian ketika mereka pergi, aku mau mengendarainya. 
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]. Lihat pembahasan ini dalam Ahkamul Janaiz, hlm. 73-75.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan mayit, Beliau mengikutinya sampai kuburan, berjalan kaki di depannya. Hal ini merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Disunnahkan bagi orang yang mengiringinya untuk berjalan di belakangnya. Apabila berjalan kaki, maka hendaknya mendekat kepada jenazah, di belakangnya atau di depannya atau di sebelah kanan dan kirinya. Dahulu, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersegera ketika mengangkat jenazah, sehingga mereka dahulu sungguh berjalan dengan cepat. Adapun perbuatan manusia pada zaman sekarang dengan melangkah setapak demi setapak merupakan bid'ah yang dibenci lagi menyelisihi syari'at, dan menyerupai Ahli Kitab dari Yahudi." [Lihat Zaadul Ma'ad (1/498)].

7. Tidak diperbolehkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang menyelisihi Sunnah.
Misalnya seperti mengeraskan suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan tarahhum (berdo’a untuk mayit agar diberi rahmat).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak dianjurkan untuk mengeraskan suara ketika mengiringi jenazah, baik dengan bacaan atau dzikir atau yang lain. Hal ini merupakan madzhab imam yang empat. Dan inilah yang kami ketahui dari salaf, dari para sahabat dan tabi'in. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya." [Lihat Majmu' Fatawa (24/293,294)].

8. Diharamkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang mungkar, seperti memukul kendang, alat musik yang mencerminkan kesedihan, meratap dan yang lainnya. Demikian pula apabila wanita memukul rebana ketika jenazah diberangkatkan ke kuburan.

9. Apabila pada acara mengiringi jenazah terdapat kemungkaran, sedangkan dia tidak mampu untuk menghilangkan seluruhnya, maka dia tetap mengikuti jenazah tersebut, demikian menurut pendapat yang benar.

Pendapat ini merupakan satu diantara dua riwayat dari Imam Ahmad. Dan dia mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuannya. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyah Minal Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, hlm. 132].

10. Tidak mengapa mengiringi jenazah dengan naik mobil atau kendaraan yang lain apabila kuburan letaknya jauh.
Dianjurkan bagi orang yang mengiringi jenazah untuk khusyu' menghayati kematian dan memikirkan apa yang akan dialami oleh si mayit dan tidak membicarakan masalah duniawi.

11. Disunnahkan untuk tidak duduk hingga jenazah diletakkan di tanah. Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا اتَّبَعْتُمْ جَنَازَةً فَلَا تَجْلِسُوا حَتَّى تُوضَعَ 
(رواه البخاري ومسلم)
Apabila kalian mengikuti jenazah, maka janganlah duduk hingga diletakkan.
 [HR Bukhari dan Muslim].

12. Disunnahkan bagi orang yang telah selesai mengangkat jenazah untuk wudhu'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
 (رواه أبو داود والترمذي)
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu’. 
[HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya)].

H. MENGUBUR MAYAT


1. Mengangkat dan mengubur mayat merupakan suatu penghormatan kepadanya. Dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Allah berfirman:
أَلَمْ نَجْعَلِ اْلأَرْضَ كِفَاتًا أَحْيَآءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah telah Kami jadikan tanah sebagai pelindung bagi kalian. Dalam keadaan hidup dan mati. [Al Mursalat:25, 26]

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ
Kemudian Allah mematikan dan menguburkannya.
 ['Abasa:21]

2.Yang menguburkan mayat adalah kaum lelaki, meskipun mayat tersebut wanita. Hal ini karena beberapa hal:
  • Bahwasanya hal ini dikerjakan oleh kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga pada zaman sekarang.
  • Karena kaum lelaki lebih kuat untuk mengerjakannya.
  • Jika hal ini dikerjakan oleh kaum wanita, maka akan menyebabkan terbukanya aurat wanita di hadapan lelaki yang bukan mahramnya.

Dalam masalah ini, wali dari mayit merupakan orang yang paling berhak menguburkannya, berdasarkan keumuman firman Allah:
وَأُوْلُوا اْلأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللهِ
Dan orang yang memiliki hubungan kerabat sebagian diantara mereka lebih berhak daripada yang lain
[Al Anfal:75].

3. Disunnahkan untuk mengubur mayat di kuburan. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu mengubur para sahabatnya di kuburan baqi'. Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun dari salaf bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengubur seseorang di selain kuburan, kecuali sesuatu yang telah mutawatir bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dikubur di kamarnya. Karena hal ini merupakan kekhususan Beliau. Sebagaimana hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, beliau berkata:
لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَلَفُوا فِي دَفْنِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مَا نَسِيتُهُ قَالَ مَا قَبَضَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي يَجِبُ أَنْ يُدْفَنَ فِيهِ فَدَفَنُوْهُ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِهِ 
(رواه الترمذي)
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia, para sahabat berselisih pendapat dalam masalah tempat untuk mengubur Beliau. Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu berkata,”Saya mendengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuatu yang aku belum lupa. Beliau bersabda,’Tidaklah Allah mewafatkan seorang Nabi, kecuali di tempat tersebut wajib untuk dikubur’.” Kemudian mereka mengubur Beliau di tempat tidurnya. 
[HR At Tirmidzi].

Orang yang mati syahid dikubur di tempat dia meninggal dunia. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengembalikan syuhada' Uhud supaya dikubur di tempat mereka terbunuh. Padahal sebagian syuhada' sudah dibawa pulang ke Madinah.

4. Disunnahkan untuk memperluas dan mendalamkan kuburan.
Karena diriwayatkan dari Hisyam bin 'Amir Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Dikeluhkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang orang yang mati terluka pada perang Uhud. Kemudian Beliau bersabda:

احْفِرُوا وَأَوْسِعُوا وَأَحْسِنُوا ...
 (رواه الترمذي)
Galilah dan luaskanlah, dan baguskanlah kuburan mereka
[HR At Tirmidzi].

Karena yang demikian lebih tertutup bagi mayit dan lebih terjaga dari binatang buas, dan baunya tidak akan mengganggu orang yang hidup.

5. Diperbolehkan duduk di dekat kuburan ketika mayat sedang dikubur, untuk mengingatkan orang yang hadir terhadap kematian.

6. Diperbolehkan untuk mengubur mayat di setiap waktu, dan makruh hukumnya mengubur mayat pada tiga waktu yang dilarang, sebagaimana telah dijelaskan dalam shalat jenazah, kecuali jika karena adanya darurat.

Dan diperbolehkan mengubur mayat pada malam hari. Karena hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu di dalam Al Bukhari dan Muslim. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Telah mati seseorang yang dahulu Nabi menjenguknya. Mati pada malam hari, kemudian para sahabat menguburnya pada malam itu juga. Ketika pagi, Beliau bertanya, ’Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?’ Kemudian Beliau mendatangi kuburnya, dan Beliau shalat jenazah di kuburan.” Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka mengubur pada malam hari. [Lihat fatwa Lajnah Da'imah di dalam Fatawa Islamiyyah (2/34)].

7.Disunnahkan bagi orang yang memasukkan mayat untuk berdo'a.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا وَضَعْتُمْ مَوْتَاكُمْ فِي قُبُوْرِهِمْ فَقُوْلُوْا بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْلِ اللهِ 
(رواه الحاكم)
Apabila kalian meletakkan jenazah di kuburnya, maka ucapkanlah:
بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلًّةِ رَسُوْل اللهِ (dengan nama Allah dan di atas agama Muhammad). [HR Al Hakim].

8. Diletakkan mayat di kuburnya di atas bagian tubuhnya yang kanan, sedangkan wajahnya menghadap ke arah kiblat. Hal ini yang dikerjakan oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hingga sekarang, dan yang dilakukan di seluruh kuburan. [Lihat Ahkamul Janaiz, 151].

9. Disunnahkan bagi orang yang ada di kuburan untuk melempar tanah tiga kali dengan kedua tangannya setelah selesai menutup lahad. Karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ ثُمَّ أَتَى قَبْرَ الْمَيِّتِ فَحَثَى عَلَيْهِ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ ثَلَاثًا 
(رواه ابن ماجه)
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu menyalatkan jenazah, kemudian Beliau melemparkan tanah dari arah kepalanya tiga kali. 
[HR Ibnu Majah].

10. Setelah mengubur mayit, disunnahkan beberapa hal:
  • Untuk meninggikan kuburan sedikit dari tanah sekedar satu jengkal, dan tidak diratakan dengan tanah supaya berbeda dengan yang lain, sehingga bisa terjaga dan tidak dihinakan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu :


أن النبي صلى الله عليه وسلم ألحد له لحدا ونصب عليه اللبن نصبا ورفع قبره من الأرض نحوا من شبر
 (رواه ابن حبان والبيهقي)
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menggali liang lahad dan menancapkan batu bata dan meninggikan kuburan sekadar satu jengkal.
 [HR Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].


  • Hendaknya kuburan dijadikan membulat bagian permukaannya (seperi punuk onta). Karena di dalam hadits Sufyan At Tammar disebutkan:


رَأَيْتُ قَبْرَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَقَبْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ) مَسَنَّمًا
 (رواه البخاري)
Aku melihat kubur Nabi (dan kubur Abu Bakar dan Umar) membulat. 
[HR Bukhari].


  • Agar diberi suatu tanda dengan batu atau yang lainnya, supaya dikuburkan di dekatnya orang yang mati dari keluarganya. Karena ketika Utsman bin Madh'un meninggal dunia, beliau meminta untuk diambilkan sebuah batu, kemudian beliau meletakkannya di dekat kepalanya. Dan beliau bersabda:


أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي
 (رواه أبو داود)
Supaya aku mengetahui kuburan saudaraku dan aku akan mengubur di dekatnya orang yang mati dari keluargaku. 
[HR Abu Dawud].

  • Tidak diperbolehkan mentalqin mayit setelah dikubur, sebagaimana talqin yang dikenal pada zaman sekarang, yaitu dengan menuntun syahadat la ilah illallah. Akan tetapi, hendaklah berdiri di dekat kubur kemudian berdo'a. Dan orang yang hadir agar memintakan ampunan bagi mayit. Di dalam hadits Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhubeliau berkata: ,


كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
 (رواه أبو داود)
Dahulu, apabila Nabi selesai dari mengubur mayit, Beliau berdiri di dekatnya dan bersabda: “Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mintakan supaya dia diberikan keteguhan, karena sekarang ini dia sedang ditanya". 
[HR Abu Dawud].

Setiap orang berdo'a sendiri-sendiri tanpa adanya komando (berjamaah). [Lihat Ahkamul Janaiz (153-156), Ash Shalat, Dr. Abdullah Ath Thayyar, hlm. 289].

11. Diperbolehkan untuk mengeluarkan (membongkar kembali) mayat dari dalam kuburnya untuk tujuan yang benar, seperti kalau dia dikubur sebelum dimandikan dan dikafani.

12. Bagi seseorang tidak disunnahkan untuk menggali kuburnya sebelum dia mati. Karena Nabi dan para sahabatnya tidak pernah mengerjakan perbuatan seperti ini. Dan seseorang tidak mengetahui kapan dan dimana dia akan mati. Apabila maksudnya untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kematian, maka hal ini dengan mengamalkan amal shalih. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, hlm. 134].

13. Tidak diperbolehkan menulis sesuatu di atas kuburan.
Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهَا وَأَنْ تُوطَأَ
(رواه الترمذي)

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang di atas kuburan diberi warna dan ditulis sesuatu. Dan Beliau melarang di atasnya dibangun dan diinjak.
 [HR At Tirmidzi].

14. Tidak boleh mengubur orang kafir di kuburan kaum muslimin dan sebaliknya.

15. Tidak boleh menambahkan sesuatu di atas kuburan, baik dengan tanah atau bangunan. Karena hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu yang marfu', beliau berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبْنَى عَلَى الْقَبْرِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ... 
(رواه النسائي)
Rasulullah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan atau ditambahkan kepadanya tanah
[HR An Nasa-i, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

16. Dibenci berjalan di atas kuburan dengan mengenakan alas kaki tanpa ada udzur. Namun apabila ada udzur, seperti tempatnya sangat panas atau terdapat banyak duri, maka tidak mengapa berjalan dengan mengenakan sandal. Didalam hadits Basyir bin Nahik (bekas budak Rasulullah), ia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... فَإِذَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي الْقُبُورِ عَلَيْهِ نَعْلَانِ فَقَالَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
 (رواه أبو داود)
Ketika aku berjalan bersama Rasulullah n , tiba-tiba ada seseorang yang berjalan di kuburan dengan mengenakan sandal. Kemudian Beliau bersabda: “Wahai, orang yang mengenakan sandal! Celakalah engkau! Lepaskanlah dua sandalmu!” Kemudian lelaki tersebut melihat sandalnya. ketika dia melihat Rasulullah melepas sandalnya, maka dia melepas dan melempar kedua sandalnya
[HR Abu Dawud, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani].

17. Diharamkan memasang lampu di kuburan.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ 
(رواه أبو داود و الترمذي)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang ziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, dan orang yang memasang lampu padanya. 
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

18. Tidak diperbolehkan buang hajat di kuburan.

19. Diharamkan mengubur satu mayat di atas kuburan orang lain, kecuali diperkirakan kuburan yang pertama sudah menjadi tanah. Dalilnya, ialah apa yang dikerjakan kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga zaman sekarang, bahwa seseorang di kuburnya sendirian.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tidak ada bedanya ketika mengubur dalam satu waktu, yaitu dimasukkan dua kuburan secara bersamaan atau hari ini dikubur seseorang kemudian besok dikubur orang lain,” kemudian beliau berkata: “Kecuali dalam keadaan darurat, seperti banyaknya orang yang mati, kemudian orang yang menguburnya sedikit. Dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa apabila dimasukkan dua atau tiga orang dalam satu kuburan.” [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/461)].

20. Disunnahkan untuk mengumpulkan kerabat yang mati di satu pekuburan, dan haram hukumnya mengumpulkan beberapa mayat dalam satu liang lahad, kecuali ada hal darurat.

21. Diharamkan menyembelih dan makan dari sembelihan tersebut di kuburan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: Haram hukumnya menyembelih dan berqurban di kuburan, meskipun si mayat telah bernadzar, atau dia telah memberikan syarat; maka syaratnya batil dan dianggap tidak sah. Karena hadits Anas, beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah:
لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ
 (رواه أبو داود)
Tidak ada sembelihan untuk si mayat dalam agama Islam
[HR Abu Dawud].


Dan beliau berkata: “Mengeluarkan shadaqah ketika mengiringi jenazah merupakan perbuatan yang dibenci, karena menyerupai menyembelih di kuburan.” [Lihat Al Akhbarul Ilmiyyah, 135].

22. Tidak boleh membaca Al Qur'an di kuburan. Karena tidak pernah diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya. Maka perbuatan ini termasuk bid'ah.

23. Tidak boleh meletakkan pelepah kurma atau yang lainnya di atas kuburan. Karena hal ini termasuk bid'ah dan berprasangka yang jelek kepada mayit.
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan pelepah kurma di atas dua kuburan ketika Beliau mengetahui bahwa keduanya sedang disiksa. Adapun kita tidak mengetahui hal tersebut.

24. Tidak boleh meletakkan kain hijau di atas keranda yang tertuliskan ayat kursi. Karena hal ini termasuk meremehkan terhadap ayat-ayat Allah.
Hal ini tidak pernah ada di dalam Sunnah dan tidak pernah dikerjakan oleh seorang pun di antara para sahabat dan tabi'in. Seandainya perbuatan seperti ini baik, pasti mereka telah mendahului kita dalam mengamalkannya. Terlebih lagi apabila terdapat keyakinan yang salah bahwa perbuatan ini akan bermanfaat bagi si mayit. Padahal yang benar, tidak akan bermanfaat sama sekali bagi si mayit. [Lihat Ash Shalat, hlm. 293].

No comments:

Post a Comment