Nama Endra
Saputra
No BP :
121100344
STMIK INDONESIA
PADANG
WEST SUMATERA
Kasus
Seorang Remaja
Seorang yang
sudah mempunyai seorang pria/wanita idamannya dan dia berjanji untuk menikah,
tetapi orang tua tidak setuju dengan pasangan tersebut. Jelaskan kasus di atas
sesuai pendapat saudara dan pendapat ahli.
Jawab :
Menurut pendapat
saya :
Sebagai seorang anak, sebaiknya
remaja ini selalu mengharap keridoan dari keduanya dan memenuhi
perintah-perintahnya, sepanjang tidak untuk berbuat maksiat. Juga anak harus
selalu mementingkan keduanya dengan mendahulukan keinginan – keinginannya dari
pada kepentingan dan keinginan pribadi
Termasuk durhaka kepada kedua orang tua,
adalah menyakitinya dengan tidak mau memberikan hal yang baik kepada keduanya,
sesuai dengan kemampuan. Apalagi jika sering menyakitinya dengan cara membantah
dan berkata kasar pada mereka. Kemudian bagaimanakah kita sebagai anak tega
memalingkan muka dan berkata kasar kepadanya.
Pasangan remaja ini harus membicarakan dengan baik-baik kepada orang
tuanya mengenai masalah ini. Orang tua tentunya akan ikut memikirkan bagaimana
yang terbaiknya untuk anaknya. Dan mereka juga akan menjelaskan mengapa tidak
menyetujui hubungan pasangan remaja ini. Apakah alasannya syar’i(alasan yang dibenarkan hukum syara’ atau alasan tidak sya’i(alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’) hanya karena
beda suku, orang miskin, tampang, bukan sarjana, dan lainnya. Kalau alasannya
syar’i tentu saja orang tua melarang hubungan remaja itu, tapi kalau alasannya
tidak syar’i remaja ini bila ingin direstui hendaklah melakukan pendekatan
intensif. Kalau remaja ini menunjukan kesungguhannya bagaimana pun kerasnya
orang tua untuk kebahagiaan anaknya lama kelamaan akan luluh dan merestui
hubungan remaja ini. Bila telah melakukan pendekatan intensif tidak juga
direstui, berarti orang tua telah salah
Menurut pendapat para ahli :
Pasangan ini
memang salah karena mereka berjanji untuk menikah. Dalam surat Al – Baqarah
ayat 235 menjelaskan tentang janji menikah(kawin) yang berbunyi sebagai berikut
:
Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran[149] atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[150]. dan janganlah kamu
ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS.Al-Baqarah:235)
. Berbakti kepada kedua orang tua
sering sekali disebutkan dalam Al-Quran, bahkan digandengkan dengan tuntunan
menyembah Allah. Hal ini menunjukan bahwa berbakti kepada Kedua orang tua (Ibu
– Bapak) adalah wajib. Anak berkewajiban berbuat baik kepada kedua orang tuanya
yang harus ditunaikan semaksimal mungkin. Hal ini di dukung oleh hadits dari
Abu Abdulrahman, Abdullah bin Mas’ud, ia menceritakan: Aku pernah
bertanya pada Rasulullah, tentang perbuatan apakah yang paling dicintai Allah?
Jawab beliau : “yaitu shalat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa
lagi? Jawab beliau: “berbuat baik kepada orang tua”. Aku bertanya lagi:
Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: “Jihat fisabilillah”. ( HR. Bukhori dan Muslim – Riyadhush
Shalihin 3/315)
َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ
عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
( رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ
اَلْوَالِدَيْنِ ) أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
“Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash
Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Keridloan Allah tergantung kepada keridloan orang tua dan kemurkaan Allah
tergantung kepada kemurkaan orang tua.” Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurut
Ibnu Hibban dan Hakim.”
Jika wali tidak mau menikahkan,
harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i.
Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’, misalnya anak
gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan,
atau calon suaminya adalah orang kafir (misal beragama Kriten/Katholik), atau
orang fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau mempunyai cacat tubuh yang
menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i
seperti ini, maka wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada
pihak lain (wali hakim) (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 1989, hal. 90-91)
Jika seorang perempuan memaksakan
diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah
alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya
sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut, tidak berpindah
kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka
nikahnya batil. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak [sah] nikah kecuali dengan
wali.” (HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117).
Namun adakalanya wali menolak
menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan
hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin,
bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah
alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak
dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan
alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol.
Makna ‘adhol, kata Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah menghalangi
seorang perempuan untuk menikahkannya jika perempuan itu telah menuntut nikah.
Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik (Taqiyuddin
An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116). Firman Allah
SWT
apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], apabila
telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah
yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah
dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.(QS.Al-Baqarah:232).
Jika wali tidak mau menikahkan
dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada wali hakim
(Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh
‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
SAW,”…jika mereka [wali] berselisih/bertengkar [tidak mau menikahkan], maka
penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang [perempuan] yang tidak punya
wali.” (Arab : …fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya
lahaa) (HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh
Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).
Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah wali dari
penguasa, yang dalam hadits di atas disebut dengan as-sulthan. Imam
Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam II/118 menjelaskan, bahwa
pengertian as-sulthan dalam hadits tersebut, adalah orang yang memegang
kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (Arab : man ilayhi al-amru,
jaa`iran kaana aw ‘aadilan). Jadi, pengertian as-sulthaan di sini
dipahami dalam pengertiannya secara umum, yaitu wali dari setiap penguasa, baik
penguasa itu zalim atau adil. (Bukan hanya dari penguasa yang adil). Maka dari
itu, penguasa saat ini walaupun zalim, karena tidak menjalankan hukum-hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, adalah sah menjadi
wali hakim, selama tetap menjalankan hukum-hukum syara’ dalam urusan
pernikahan.
No comments:
Post a Comment